Minggu, 31 Agustus 2008

Pengeran Benowo

Setelah Sultan Hadi Wijaya (Jaka Tingkir) Sultan Pajang meninggal mestinya yang berhak menggantikan kedudukannya adalah Pangeran (sunan) Benowo, yang merupakan putera mahkota. Namun kenyataan berkata lain. Menurut Sunan Kudus, Aryo Pangiri lah yang berhak karena merupakan putra tertua meskipun putra menantu dan dia juga putera raja (Sunan Prawoto raja Demak). Oleh karena Sunan Kudus tetap berpegang pada pendapatnya, mak Pangeran Benowo harus rela menempati jabatan baru sebagai Bupat Jipang Panolan. Mungkin peristiwa ini yang disebut bahwa Pangeran Benowo Sakit Penggalihipun. Kemudian Aryo Pangiri dinobatkan sebagai raja Pajang, namun tidak berselang lama. Karena dalam kepemimpinannya banyak menyengsarakan rakyat sehingga tidak disukai rakyat dan banyak desakan maka Pangeran Benowo atas pertimbangan saudaranya, Senopati Sutowijoyo, merebut kembali kerajaan pajang dari tangan Aryo Pangiri dan berhasil. Aryo Pangiri kalah dan dikembalikan ke Demak bersama seluruh keluarganya. Selanjutnya Pangeran Benowo menduduki jabatan sebagai sultan namun hanya satu tahun kemudian digantikan oleh Senopati Sutowijoyo dan pemerintahan beralih menjadi Kerajaan Mataram.

Dalam catatan Amien Budiman pada Babad Tanah Jawi bahwa Pangeran Benowo setelah hanya bertahta satu tahun, pergi ke Sedayu Jawa Timur kemudian menuju ke Barat dan sampai di Hutan Kukulan daerah Kendal bersama para pengiringnya, Kyai Bahu, Kyai Wiro dan dua lagi tidak diceritakan namanya. Selama di hutan itu Pangeran Benowo merasakan sejuk hatinya melihat padang yang luas, sedang tanahnya baik dan rata. Hanya sayang tempat itu tidak ada sungai. Pangeran Benowo memberitahukan kepada sahabatnya tentang tidak adanya sungai itu, dan mereka mengatakan memang sebaiknya Pangeran Benowo membuat sungai.

Kyai Bahu dan Kyai Wiro diperintahkan menyudet sungai di dekat tempat itu hingga airnya bisa mengalir ke hutan dan menyenagkan hati mereka yang bermaksud bertempat tinggal di kawasan itu. Pangeran Benowo bersama empat sahabatnya pergi ke sungai lotud. mereka menjumpai tempat yang agak datar dan memudahkan aliran air. Kemudian Pangeran Benowo menyudet sungai itu dengan menggunakan tongkat. Aliran sungai itu mengalir ke arah timur laut sampai di hutan yang akan dijadikan pemukiman mereka.

Waktu itu kebetulan sudah masuk waktu subuh. Pangeran Benowo bermaksud berhenti di tempat itu untuk melakukan sholat subuh. Adzan subuh dilakukan sendiri oleh Pangeran Benowo mendengar ada suara yang menjawab adzan yang diucapkan. Suara itu datang dari lurus arah timur tempat Pangeran Benowo melaksanakan sholat subuh. Peristiwa aneh tersebut disampaikan pada keempat sahabatnya.

Oleh Pangeran Benowo kemudian diperintahkan kepada para sahabatnya untuk mencari dimana asal suara yang menjawab adzannya. Namun mereka tidak menemukan apa-apa, hanya tiga buah makam dan ketiganya bernisan batu. Sayangnya dalam Babad Tanah Jawi tidak menyebut tiga makam itu milik siapa. Pangeran Benowo memeriksa ketiga makam itu secara teliti. Sedang di sebelahnya adalah sebuah pohon besar yang sudah berlubang, yang disebutnya pohon kendal. Kyai Bahu dan Kyai Wiro serta dua rekannya diperintahkan oleh Pangeran Benowo agar tinggal di hutan itu dan membuatnya menjadi tempat pemukiman. Desa itu kemudian diberi nama Desa Kendal.

Sedangkan Pangeran Benowo bermaksud tinggal di hutan sebelah selatan yang letaknya berdekatan dengan sudetan sungai. Ia berjalan ke arah selatan dengan diikuti oleh tiga sahabatnya, karena Kyai Bahu diperintahkan untuk tinggal di tempat yang baru dibuka itu. Sampai di hutan Tegalayang, Pangeran Benowo berhenti untk bertapa ngluwat, bertapa dengan mengubur dirinya dalam sebuah lubang. Lubang dipersiapkan oleh ketiga sahabatnya, dan selanjutnya Pangeran Benowo masuk di dalamnya, dan ketiga sahabatnya agar menutupnya. Sebelumnya dipesankan oelh Pangeran Benowo, bila sudah mencapai empatpuluh hari, maka lubang itu diminta untuk dibuka.

Setelah lebih satu bulan, datang dua utusan dari Mataram sambil membawa surat dari Panembahan Senopati yang akan diberikan kepada Pangeran Benowo, namun tidak dijumpai di tempat tersebut. Sebaliknya, mereka hanya bertemu dengan seorang pande besi yang bediam di hutan itu namanya Kyai Jebeng Pegandon. Kedua utusan itu mengira bahwa pande besi itu adalah Pangeran Benowo, maka disampaikan surat itu kepadanya sambil memberitahukan bahwa Pangeran Benowo diundang oelh Panembahan Senopati. Karena merasa dirinya buka Pangeran Benowo, maka Kyai Jebeng Pegandon si tukang besi itu menjawab:
"Bawalah pulang surat itu. Aku tidak mau diundang, dan lagi pula aku tidka mau mengabdi pada raja".

Kedua utusan itu pulang dan memberi laporan kepada Panembahan Senopati bahwa Pangeran tidak mau. Dan oleh Panembahan Senopati memang dua utusan tersebut telah keliru. Maka mereka diperintahkan kembali ke hutan mencari Pangeran Benowo di sebelah selatan hutan itu. Di samping itu juga mereka diperintahkan mendatangi lagi Kyai Jebeng Pegandon si pande besi sambil membawa wewdhung panelasan (pisau raut besar bersarung untk menghabisi nyawa seseorang) untuk memancung leher pande besi tersebut.

Para utusan Mataram itu kembali ke hutan Kendal dan terlebih dahulu menuju ke tempat Kyai Jebeng Pegandon dan memberi tahu maksud kedatangannya atas perintah Panembahan Senopati. Kemudian Kyai Jebeng dibunuh dengan menggunakan wewedang dan jenazahnya dimakamkan di Pegandon.

Akhirnya kedua utusan tadi sampai di hutan Tegalayang dan mereka bertemu dengan ketiga sahabat Pangeran Benowo yang sedang menunggui lubang tempat bertapa Paengeran Benowo. Kedua utusan tadi menanyakan keberadaan Pangeran Benowo. Oleh Kyai Wiro, dijelaskan bahwa Pangeran Benowo sedang bertapa ngluwat baru sebulan lebih empat hari. Oleh Kyai Wiro disarankan memang sebaiknya kedua utusan itu bersabar dan mau menunggu karena bertapanya hanya tingga enam hari lagi. Dan sebagaimana pesan Pangeran Benowo, pertapaannya dibuka kembali setelah masa empat puluh hari oleh Kyai Wiro. Alangkah terkejut, ketika lubang terbuka ternyata Pangeran Benowo tidak ada di tempat, lubang itu kosong. Setelah kesana kemari dicari akhirnya Pangeran Benowo dijumpai sedang duduk tafakur menghadap ke arah barat.

Setelah meminta izin sowan, Kyai Wiro menyampaikan ada utusan dari Mataram, kemudian Pangeran Benowo mempersilahkan untuk bertemu dengannya. Maka kedua utusan itu menghaturkan surat dari Panembahan Senopati. Surat diterima dan dibaca, ternyata isinya Pangeran Benowo diminta untuk datang ke Mataram. Adapun sebabnya, yang pertama kakandanya rindu, dan yang kedua, apa saja kehendak Pangeran Benowo akan dituruti Panembahan Senopati. Pangeran Benowo menolak. "Aku tidak mau ke Mataram Jika kakanda Senopati mempunyai kehendak apapun, aku wakilkan kepada Kyai Bahu saja. Kakanda tidak usah membuat surat lagi". Kemudian Kyai Bahu dibawakan kepada kedua utusan tersebut ke Mataram.

Pangeran Benowo selanjutnya tinggal di hutan/gunung Kukulan. Akan tetapi selang beberapa hari ia pergi dari tempat itu ke arah utara, mencari tempat tinggla yang lebih baik. Akhirnya ia menjumpai tempat yang bagus, berada di pinggir sungai. Bersama ketiga sahabatnya, Pangeran Benowo tinggal di tempat itu. Tidak lama kemudian banyak orang berdatangan ingin bertempat tinggal dan belajar kepadanya. Tempat itu kemudian menjadi desa, diberi nama Desa Parakan (amargi kathah tiyang ingkang sami dateng umarak ing Kanjeng Pangeran/karena banyak orang yang datang dan menghadap Kanjen Pangeran).

Kemudian timbul pertanyaan dimanakah yang dimaksud dengan desa arakan itu? apakah Parakan yang sekarang ini merupaka sebuah tempat di Kabupaten Temanggung? Kalau tempat itu yang dimaksud, mestinya perjalanan Pangeran Benowo ke arah selatan bukan ke arah utara, sedangkan hutan Kukulan sebuah tempat yang letaknya kurang lebih 2 km dari Desa Sojomerto sekarang ini. Karena arah perjalanan Pangeran Benowo dari gunung/hutan Kukulan ke arah utara, tidak tertutup kemungkinan bahwa desa itu bernama Pakuncen masuk Kecamatan Pegandon.

Di desa itu ada masjid peninggalannya, ada sumur dan bahkan ada sebuah genthong yang konon katanya berasal dari Demak, namanya Genthong Puteri. Diceritakan juga bahwa genthong itu semula satu pasang, yang berarti ada dua buah, dimana yang satu tetap berada di Demak. Konon kedatangan genthong itu datang sendiri dari Demak lewat sungai dengan dikawal oelh seekor kebau, yang diberi nama "Kebo Londoh", yaitu jenis kerbau yang kulitnya putih. Orang JAwa menyebutnya "Kebo Bule".

Genthong itu sekarang ditanam di (serambi) bagian selatan masjid, dan hanya mulut genthongnya yang kelihatan. Genthong itu diyakini sebagai satu kesatuan dengan sumur yang ada di sebelah selatan masjid. Oleh masyarakat, air sumur itu bisa sebagai sarana pengobatan, dan hal itu sudah banyak yang membuktikan. Caranya, air dari sumur dimasukkan ke dalam genthong puteri dan dari genthong itulah diambil airnya. Makam Pangeran Benowo berada di belakang masjid Pakuncen.

Setelah sampai di keraton Mataram, Kyai Bahu menerima tugas dari Panembahan Senopati agar usahanya membuka hutan dan tanah serta membuat tempat pemukiman di kawasan hutan Kendal supaya dilanjutkan menjadi suatu negeri, sedang penghasilannya diserahkan kepada Pangeran Benowo. Di samping itu Pangeran Benowo diangkat derajatnya oleh Panembahan Senopati dengan nama Susuhunan Parakan. Sedangkan Kyai Bahu diberi nama kehormatan Kyai Ngabehi Bahurekso.


sumber : buku Babad Tanah Kendal karya Ahmad Hammam Rokhani

Selasa, 26 Agustus 2008

Panembahan Senopati Sutowijoyo

disadur dari buku Babad Tanah Kendal karya Ahmad Hamam Rochani,

Panembahan Senopati, Raden Bagus Danang Sutowijoyo adalah putera sulung Ki Pemanahan. Kalau dirunut pada silsilah, Prabu Brawijaya pada perkawinannya dengan Dewi Wandan (wanita yang berkulit kehitam-hitaman) melahirkan Ki Bondan Kejawan yang kemudian memperistri Nyai Nawangsih putera Ki Gede Tarub dan melahirkan Ki Ageng Getas Pendowo atau Syekh Ngabdullah dan seorang puteri (dinikahkan dengan Ki Ageng Ngerang). Ki Ageng Getas Pendowo memiliki 6 putera, Ki Ageng Selo, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purno, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, dan Nyai Ageng Adibaya. Keturunan Ki Ageng Selo, dari 7 hanya satu yang laki-laki yaitu Ki Ageng Ngenis yang kemudian berputera Ki Ageng Pemanahan yang selanjutnya melahirkan Sutowijoyo.

Sesuai pesan ayahnya, Ki Pemanahan dan restu sultan Pajang, Sutowijoyo menggantikan ayahnya sebagai pembesar atau Panembahan Mataram. Seperti dikatakan oleh Panembahan Giri dan Kanjeng Sunan Kalijaga, keturunan Ki Pemanahan kelak akan menjadi raja aung yang meguasai tanah Jawa. Sebagaimana ayahnya, Sutowijoyo selalu mencari kebenaran tentang dua ramalan nujum dua orang sesepuh itu.

Menjelang tengah malam Suutowijoyo keluar dari istana dengan diserta lima orang pengawalnya menuju ke Lipuro. Dan selanjutnya ia tidur di atas kumuloso, sebuah batu hitam yang halus permukaannya. Kepergiannya membuat kaget Ki Juru Mertani (paman dari ibu) karena tidak menemukannya di rumah. Namun, Ki Juru mengetahui dan hafal kemana putranya kemenakannya pergi. Setibanya di Lipuro, didapati Sutowijoyo sedang tidur pulas, kemudian dibangunlah Sutowijoyo dengan berucap: "Tole, bangunlah!. Katanya ingin menjadi raja, mengapa enak-enak tidur saja". Tiba-tiba dilihat Ki Juru Mertani ada sebuah bintang sebesar buah kelapa yang masih utuh terletak di kepala Sutowijoyo, kemudian ia membangunkannya. "Tole, bangunlah segera. Yang bersinar di atas kepalamu seperti bulan itu apa?". Bintang itu menjawab seperti manusia: "Ketahuilah, aku ini bintang memberi khabar kepadamu, maksudmu bersemedi dengan khusyuk, meminta kepada Tuhan yang Mahakuasa, sekarang sudah diterima oleh-Nya. Yang kamu minta diizinkan, kamu akan menjadi raja menguasai tanah Jawa, turun sampai anak cucumu, akan menjadi raja di Mataram tiada bandingnya. Sangat ditakuti oleh lawan, kaya dengan emas dan permata. Kelak buyutmu yang menjadi raja di Mataram, negara kemudian pecah. Sering terjadi gerhana matahari, gunung meletus, hujan abu atau lumpur. Itu pertanda akan rusak". Setelah berkata demikian bintang itu lalu menghilang. Sutowijoyo berkata dalam hati "permohonanku sudah dikabulkan oleh Tuhan., niatku menjadi raja menggantikan kanjeng Sultan (Pajang), turun sampai anka cucuku, sebagai pelita tanah Jawa, orang tanah Jawa semuanya tunduk".

Lain halnya dengan Ki Juru Mertani, ia mengetahui apa yang dipikirkan putra kemenakannya itu, kemudian ia bertutur lembut. "Senopati, kamu jangan berfikir sombong, memastikan barang yang belum tentu terjadi. Itu tidak benar. Jika kamu percaya pada omongan bintang, itu kamu salah. Sebab itu namanya suara ghaib, boleh benar boleh bohong. Tidak dapat ditangkap seperti lidah manusia, dan kelak jika kamu benar-benar berperang melawan orang Pajang, tentu bintang itu tidak bisa kamu tagih atau kamu minta pertolongannya.Tidak salah jika aku dan kamu menjadi raja Mataram dan kalah dalam perangnya, tidak luput juga menjadi tawanan".

Mendengar perkataan pamannya, Senopati akhirnya sadar, dan tidak lupa minta maaf. Dan selanjutnya Senopati berkata "Paman, bagaimana petunjuk paman, saya akan menurut. Diumpamakan saya adalah sebuah perahu dan paman adalah kemudinya". Selanjutnya Ki Juru Mertani bertutur, "Tole, kalau kau sudah menurut, mari kita memohon lagi kepada TUhan, semua yang sulit mudah-mudahan bisa dimudahkan. Mari kita membagi tugas. Kamu pergi ke laut selatan dan aku akan pergi ke Gunung Merapi, Meneges kepada Tuhan. Mari kita berangkat".

Keduanay berpisah sesuai kesepakatan. Sutowijoyo berangkat ke laut kidul melalui kali Opak (Ompak) menghanyutkan diri hingga sampai laut kidul, bertapa seperti yang biasa dilakukan oleh ayahnya, Ki Pemanahan. Istana laut kidul geger, hawa di laut kidul memanas.Air laut kidul memanas membuat seisi laut ribut. Seluruh penghuninya terkena hawa panas karena cipta dan rasa Senopati Sutowijoyo yang mengheningkan cipta dengan membaca doa.
Ratu laut kidul keluar dari istananya, dan melihat dunia luar. Ia tidak melihat apa-apa kecuali seorang pemeuda yang berdiri mematung dengan mengheningkan cipta. Ratu laut kidul langsung menuju ke arah pemuda itu, dan langsung bersujud dan meminta belas kasihan kepada pemuda itu, yang tidk lain Senopati Sutowijoyo.

"Silahkan tuan menghilangkan kesedihan hati paduka supaya segera hilang adanya huru-hara ini, dan segera kembali kerusakan-kerusakan yang terjadi pada isi laut. Tuan, kasihanilah hamba, karena laut ini saya yang menjaga. Bahwa apa yang tuan mohon telah dikabulkan oleh Tuhan, sekarang sudah terkabul. Paduka dan turun paduka akan menjadi raja, memerintah tanah Jawa tidak saingannya. Seluruh jin dan peri semuanya tunduk pada paduka. Apabila kelak paduka mendapat musuh, semuanya akan membantu. Sekehendak paduka, mereka menurut saja. Karena paduka pendiri (cikal bakal) raja Tanah Jawa ini".

Mulailah hubungan Senopati Sutowijoyo dengan Ratu laut kidul. Berhari-hari Senopati berada di laut kidul bersama sang ratunya. Terucap oleh Senopati, "Seandainya Mataram mendapat musuh, siapa yang akan memberi tahu ratu kidul? orang mataram tidak ada yang bisa melihat Ratu Laut Kidul". "Itu soal gampang saja. Jika paduka membutuhkan saya, dan hendak memanggil saya, sedakep mengheningkan cipta kemudian menghadap ke angkasa. Tentu hamba akan segera datang dengan membawa prajurit lengkpa dengan perlengkapan perang",jawab Ratu Laut Kidul.

Setelah itu Senopati minta diri untuk kembali ke Mataram. Senopati muncul dari dalam air dan jalan di atas laut seperti halnya orang berjalan di darat yang halus. Tetapi betapa kagetnya ketika sudah sampai pada tepi Parangtritis, ia melihat Kanjeng Sunan Kalijaga sidah ada di tempat itu. Senopati menuju ke tempat Sunan Kalijaga dan melakukan tafakur, dan minta maaf atas tindakannya yang berjalan di atas air dan tidak basah.
Kanjeng Sunan Kalijaga bersabda, "Senopati hentikan kamu memamerkan kesaktian dengan berjalan di atas air dan tidak. Itu namanya tindakan seorang yang kibir (sombong). Para wali tidak mau memakai cara yang demikian itu, karena akan mendapat murka dari Tuhan. Jika kamu ingin selamanya menjadi raja, berjalanlah seperti sebenarnya orang berjalan. Mari ke MAtaram, saya ingin melihat rumahmu".

Sunan Katong dan Pakuwojo: asal-usul nama Kendal

Bathara Katong atau Sunan Katong besama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul melayang. Beberapa tokoh dalam rombongannya antara lain terdapat tokoh seperti Ten Koe Pen Jian Lien (Tekuk Penjalin),Han Bie Yan (Kyai Gembyang) dan Raden Panggung (Wali Joko).

Penyebaran Islam di sekitar Kaliwungu tidak ada hambatan apapun. Sedangka memasuki wilayah yang agak ke barat, ditemui seorang tokoh agama Hindu/Budha, bahka disebutkan sebagai mantan petinggi Kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit untuk wilayah Kendal/Kaliwungu, bernama Suromenggolo atau Empu Pakuwojo.

Dikatakan dalam cerita tutur, ia seorang petinggi Majapahit dan ahli membuat pusaka atau empu. Ia seorang adipati Majapahit yang pusat pemerintahannya di Kaliwungu/Kendal. Untuk meng-Islamkan atau menyerukan kepada Pakuwojo supaya memeluk agam Islam, Tidaklah mudah sebagaimana meng-ISlamkan masyarakat biasa lainnya. Biasanya sifat gengsi dan merasa jad taklukan adalah mendekati kepastian. Karena ia merasa punya kelebihan, maka peng-Islamannya diwarnai dengan adu kesaktian, sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan Bergota/Pulau Tirang.

Kesepakatan atau persyaratan dibuat dengan penuh kesadaran dalam kapasitas sebagai seorang ksatria pilih tanding. "Bila Sunan Katong sanggup mengalahkannya, maka ia mau memeluk agama Islam dan menjadi murid Sunan Katong", demikian sumpah Pakuwojo di hadapan Sunan Katong. Pola dan gaya pertrungan seperti it memang sudash menjadi budaya orang-orang dahulu. Mereka lebih menjunjung sportivitas pribadi.

Dengan didampingi dua sahabatnya dan satu saudaranya, pertarungan antarkeduanya berlangsung seru. Selain adu fisik, mereka pun adu kekuatan batin yang sulit diikuti oleh mata oran awam. Kejar mengejar, baik di darat maupun di air hingga berlangsung lama dan Pakuwojo tidak pernah menang. Bahkan ia berkeinginan untuk lari dan bersembunyi. Kebetulan sekali ada sebuah pohon besar yang berlubang. Oleh Pakuwojo digunakan sebagai tempat bersembunyi dengan harapan Sunan Katong tidak mengetahuinya. Namun berkat ilmu yang dimiliki, Sunan Katong berhasil menemukan Pakuwojo, dan menyerahlah Pakuwojo.

Sebagaimana janjinya, kemudian ia mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam. Oleh Sunan Katong, pohon yang dijadikan tempat persembunyian Pakuwojo diberi nama Pohon Kendal yang artinya penerang. Di tempat itulah Pakuwojo terbuka hati dan pikirannya menjadi terang dan masuk Islam. Dan Sungai yang dijadikan tempat pertarungan kedua tokoh itu diberi nama Kali/Sungai Kendal, yaiut sungai yang membelah kota Kendal, tepatnya di depan masjid Kendal. Pakuwojo yang semula oleh banyak orang dipanggil Empu Pakuwojo, oleh Sunan Katong dipanggil dengan nama Pangeran Pakuwojo, sebuah penghargaan karena ia seorang petinggi Majapahit. Setelah itu ia memilih di desa Getas Kecamatan Patebon dan kadang-kadang ia ebrada di padepokannya yang terletak di perbukitan Sentir atau GUnung Sentir dan menjadi murid Sunan Katong pun ditepati dengan baik. Sedangkan nama tempat di sekitar pohon Kendal disebutnya dengan Kendalsari.

Masih ada keterangan lain yang ada hubungannya dengan nama Kendal. Dikatakannya bahwa nama Kendal berasal dari kata Kendalapura. Dilihat dari namanya, Kendalapura ini berkonotasi dengan agama Hindu. Artinya, bahwa Kendal sudah ada sejak agama Hindu masuk ke Kendal. Atau paling tidak di dalam berdo'a atau mantera-mantera pemujaan sudah menyebu-nyebut nama Kendalapura.

Ada juga keterangan yang menerangkan bahwa Kendal berasal dari kata Kantali atau Kontali. Nama itu pernah disebut-sebut oleh orang-orang Cina sehubungan dengan ditemukannya banya arca di daerah Kendal. Bahkan disebutkan oleh catatan itu bahwa candi-candi di Kendal jauh lebih tua dari candi Borobudur maupun candi Prambanan.

Temuan-temuan itu patut dihargai dan bahkan bisa menjadi kekayaan sebuah asal-usul, walaupun kebanyakan masyarakat lebih cenderung pada catatan Babad Tanah Jawi yang menerangkan bahwa nama Kendal berasal dari sebuah pohon yang bernama pohon Kendal.

Kecenderungan itu karena dapat diketahui tentang tokoh-tokohnya yaitu Sunan Katong dan Pakuwojo yang mendapat dukungan dari Pangeran Benowo. Selain itu catatan-catatan pendukung lainnya justru berada di Universitas Leiden, Belanda, sebuah perguruan tinggi terkenal yang banyak menyimpan catatan sejarah Jawa.

Akan halnya cerita Sunan Katong dan Pakuwojo dalam legenda yang telah banyak ditulis itu menggambarkan sebuah prosesi, betapa sulitnya merubah pendirian seseorang, terlebih menyangkut soal agama/keyakinan. Cerita-cerita itu menerangkan bahwa antara Pakuwojo dan Sunan Katong pada akhirnya tewas bersama (sampyuh).

Cerita yang sebenarnya tidaklah demikian. Cerita itu maksudnya, begitu Pakuwojo berhasil dibuka hatinya oleh Sunan Katong, dan Pakuwojo mau mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi murid Sunan Katong, berarti antara kedua tokoh itu hidup rukun sama-sama mengembangkan agama Islam.

disadur dari buku 'Babad Tanah Kendal' karya Ahmad Hamam Rochani,

Nama Kaliwungu

disadur dari buku Babad Tanah Kendal karya Ahmad Hamam Rochani

Memang tidak ada data yang akurat bila bercerita soal asal-usul sebuah tempat, dan semuanya berdasarkan cerita tutur. Begitu pula asal-usul nama kota Kaliwungu yang akan diceritakan di bawah ini.
Cerita tutur tentang kota Kaliwungu ditemukan ada tiga versi, yang berarti ada tiga cerita yang berkembang dan ketiganya ada yang rasional dan irasional.

Cerita pertama, nama itu murni berhubungan langsung dengan perjalanan Sunan Katong bersama pengikutnya. Yaitu ketika Sunan Katong tiba di suatu tempat, dan merasa lelah, maka ia dengan dijaga oleh pengikutnya istirahat dan tiduran atau Qoilulah di bawah sebuah pohon ungu yang letaknya di tepi (condong) ke sungai. Dari sinilah muncul ucapan Sungai = Kali, di bawah pohon Ungu,yang diucapkan menjadi satu kata, menjadi Kaliwungu. Sedangkan sungai tempat istirahat dan tiduran Sunan Katong, sekarang ini dinamakan sungai (kali) Sarean. Nama-nama itu langsung terucap oleh Sunan Katong sendiri. Cerita tutur ini sudah berkembang di masyarakat dan mendapat tempat yang kuat.

Cerita kedua, Kaliwungu berasal dari adarah ungu yang mengalir seperti kali (sungai), atau darah ungu itu mengalir bagaikan sungai atau kali. Disebutkan oleh cerita tutur, bahwa ceritanya bermula dari perkelahian dua pendekar, yaitu Sunan Katong dan Empu atau Pangeran Pakuwojo. Keduanya tewas bersama dan darahnya mengalir seperti mengalirnya air sungai dengan warna ungu, darah putih bercampur dengan darah merah kehitam-hitaman.
Tewasnya keduau tokoh diawalai dengan kesalahpahaman yang didahului oleh kemarahan yang meletup-letup. Pakuwojo marah karena anaknya tidak mau menuruti kehendaknya, dan melarikan diri minta perlindungan Sunan Katong. Kemarahan Pakuwojo memuncak karena ada orang yang melindungi anaknya berarti menantang dirinya. Keris Pakuwojo yang sudah dikeluarkan dari rangkanya langsung ditancapkan ke tubuh orang yang melindungi anaknya yang tidak lain adalah Sunan Katong, gurunya sendiri. Setelah sadar dan melihat bahwa yang baru saja ditikam adalah gurunya sendiri, lemaslah Pakuwojo. Pakuwojo lalu minta ampun dan mendekatkan tubuhnya serta bersujud di kaki Sunan Katong. Dengan sisa-sisa tenaga, Sunan Katong mencabut keris yang menancap pada dirinya, dan langsung ditusukkan ke tubuh Pakuwojo. Dua tokoh yang berbeda aliran itu tewas secara bersama. Darah putih bercampur dengan darah merah kehitam-hitaman, menjadi warna ungu, mengalir bagaikan sungai (kali). Kaliwungu begitu nama di akhir zaman.

Cerita turur versi kedua ini memang alur tuturnya sangat berhubungan dengan versi pertama. Maka kedua jenis cerita tutur itu sudah mendapat dukungan kuat dari masyarakat.

Cerita ketiga, Ketika Raden Ronggo Wongsoprono, putera Pangeran Djoeminah memanggul jenazah Tumenggung Mandurorejo. Sebagaimana pesan Sultan Agung Raja Mataram, jenazah Mandurorejo supaya dimakamkan di tanah Prawoto. Karena waktu sholat sudah mengundang, maka Ki Ronggo Wongsoprono istirahat dan jenazahnya diletakkandi pinggir kali. Ketika Raden Ronggo selesai membersihkan badan dan berwudlu, dilihatnya jenazah Mandurorejo tangi, wungu (bangun). Dan disebutnya menjadi Kaliwungu. Itulah khazanah cerita.
Kembali Raden Ronggo membawa jenazah tersebut untuk dibawa ke tanah Prawoto yang oleh Raden Ronggo sendiri belum diketahui dimana letaknya. Ketika berjalan mencari tempat yang dituju sesuai petunjuk SUltan, Raden Ronggo bertemu dengan seseorang. "Kisanak, tempat apakah ini?" tanya Raden Ronggo. Orang yang dijumpainya menjawab bahwa tanah ini adalah tanah Proto. Oleh Raden Ronggo dipahami bahwa Proto dengan Prawaoto memiliki arti sama, dan sesuai dengan perintah Sultan, maka di daerah Proto itulah Tumenggung Mandurorejo dimakamkan.

Senin, 25 Agustus 2008

Ki Bondan Kejawan

Seperti disebut dalam Babad Tanah Jawi, Prabu Kertabhumi atau Prabu Brawijaya V dari Majapahit memiliki banyak istri sehingga raja terakhir Majaphit itu juga mempunyai banyak anak. Perkawinan dengan istri dari Negeri Champa yang satu, Dewi Murdaningrum Lahir Raden Hasan atau Jien Boen atau Al-Fatah (Raden Fatah). Dari istri Ponorogo lahir Bathara Katong dan Adipati Lowano. Jadi antara Raden Fatah dengan Bathara Katong masih ada garis keturunan se-ayah. dari istri Wandan, yang berkulit kehitam-hitaman lahir Ki Bondan Kejawan atau Ki Lembu Peteng atau Ki Ageng Tarub III, dan dari istri dar Champa kedua, Dewi Andarwati, lahir Raden Panggung, Puteri Hadi, dan Aria Gugur. Dari beberapa anak Prabu Brawijaya hanya dua anak yang mendapat catatan khusus dari beberapa buku Babad Tanah Jawi, yaitu Raden Fatah dan Ki Bondan Kejawan. Sebab diramalkan bahwa keturunan anak dari perkawinannya dengan puteri Wandan yang satu itu akan menurunkan raja-raja yang menguasai tanah Jawa.

KENDAL PADA MASA AKHIR KERAJAAN MAJAPAHIT

disadur dari buku Babad Tanah Kendal, karya Ahmad Hamam Rochani.

Suatu hari, Sang Prabu Brawijaya bersemedi memohon pada yang Mahakuasa. Hasil semedinya cocok dengan pelaporan para ahli nujum kerajaan. Majapahit yang agung dan termasyhur akan segera beralih tempat. Namun pemegang kekuasaan tetap berada di tangan keturunan sang prabu. Rajanya akan ditaati seluruh rakyat Jawa Dwipa bahkna nusantara.

Sang prabu lalu jatuh sakit. Mendapat wisik, penyakit akan sembuh bila Sang Prabu mau mengawini seorang puteri berambut keriting dan kulit kehitam-hitaman, Puteri Wandan Tetapi setelah Puteri Wandan mengandung, Sang Prabu terusik lagi oleh pelaporan para nujum kerajaan, bahwa sang bayi kelak akan membawa bencana. Ya, inilah awal kehancuran Majapahit. Tak pelak sang bayi diserahkan kepada seorang petani, dan jauh dari pusat kerajaan. Bayi itu adalah Bondan Kejawan, yang kemudian menurunkan Ki Getas Pendowo - Ki Ageng Selo - Ki Ageng Henis - Sunan Laweyan. Dari lelaki desa yang lugu tapi penuh sasmita itu, lahir sang Pemanahan, dan berdirilah Mataram.

Minggu, 24 Agustus 2008

SELAMAT...!! ARDHIWANA Sebagai Juaranya Juara

Lomba Napak Tilas Astana Kuntul Nglayang yang diselenggarakan oleh Kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat Wewengkon Kendal-keluarga keraton wilayah Kendal yang melestarikan makam leluhur di Kaliwungu yang biasa dikunjungi warga untuk berziarah- pada hari Minggu, 24 Agustus 2008, diikuti oleh 14 regu dari ormas, siswa SMP/SMA dan sederajat se-Kabupaten Kendal dilaksanakan mulai jam 08.00 dan berakhir jam 13.30 wib.

Dari 20 regu peserta yang terdaftar pada Temu Teknik ternyata hanya 14 regu yang melakukan daftar ulang, 2 regu diantaranya dari SMA 1 Cepiring yang diwakili oleh anggota PA "Ardhiwana" putra dan putri yang pada saat daftar ulang mendapat nomor undian 10 untuk putra dan nomor 11 untuk yang putri. Setelah upacara kebesaran dibuka, dimulai dari nomor urut 1 peserta mulai diberangkatkan menuju pos-pos materi.

Pos 1 di makam P. Pakuwojo. Pos 2 di makam Wali Musyafak. Pos 3 di makam Sunan Katong. Pos 4 di makam Kyai Asy'ari (Kyai Guru). Dan berakhir di Paseban Agung Pangeran Panembahan Djoeminah.

Materi yang dilombakan adalah tentang tokoh-tokoh yang makamkan di pos-pos tersebut, geguritan dan tembang Jawa serta semua yang bernuansa Jawa termasuk cara berpakaian, berucap dan bertindak/tingkah laku.

Dua regu-1 regu putra dan 1 regu putri- yang dikirimkan SMA 1 Cepiring ternyata tidak sia-sia. Dengan persiapan latihan selama 5 hari di bawah arahan Mas Dur-merupakan pembina Ardhiwana- mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh peserta sehingga mendapatkan hasil yaitu regu putri yang diketua Indriyani Rahwati menjadi yang terbaik sebagai JUARA 1 dan mendapat piala tetap serta uang pembinaan juga dinobatkan sebagai JUARA UMUM dengan perolehan nilai terbesar dan membawa pulang PIALA BERGILIR yang tahun lalu diperoleh SMA Trisula putri. Dengan demikian Ardhiwana telah mempersembahkan 2 prestasi untuk sekolah melalui kegiatan yang sama karena tahun sebelumnya Ardhiwana yang diwakili oleh regu putra mampu meraih juara 2.

Kamis, 21 Agustus 2008

Sejarah Kabupaten Kendal

Setiap keberadaan suatu bangsa atau daerah tidak pernah lepas dari sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah meninggalkan begitu saja sejarah bangsa tersebut.

Sejarah Kendal sendiri dalam buku "Babad Tanah Kendal" karya Ahmad Hamam Rochani, menyebutkan banyak sekali yang melatar belakangi nama Kendal. Ada yang menyebut dengan Kendalapura atau Kontali atau Kentali. Namun Babad Tanah Jawi menyebutnya bahwa Kendal berasal dari nama sebuah pohon, yaitu Pohon Kendal. Begitu pula tentang Kendal sebagai sebuah negeri, memang tenggelam oleh kerajaan atau negeri-negeri besar. Namun pada akhirnya negeri Kendal menjadi catatan sejarah nasional dan bahkan internasional karena catatan sejarahnya disimpan di sebuah perguruan tinggi terkenal di Nederland yaitu Universitas Leiden Belanda. Menurut Penulis, dipakai kata babad karena kupasannya dari cerita yang mengandung sejarah. Kalau diartikan secara umum Babad Tanah Kendal artinya cerita sejarah tentang tanah Kendal.
Oleh karena itu, penekanan dalam hal ini adalah cerita, bukan sejarah yang harus dibuktikan dengan fakta. Sehingga mungkin akan dijumpai hal-hal yang kadang lain di telinga atau bertentangan dengan pemahaman yang sudah melekat erat di pikiran masyarakat.

Ardhiwana dalam Napak Tilas Astana Kuntul Nglayang

Astana Kuntul Nglayang adalah sebutan untuk makam para leluhur atau tokoh-tokoh Islam yang masih ada keturunan raja-raja kerajaan Mataram dimana erat kaitannya dengan keberadaan Kabupaten Kendal dan (Kabupaten) Kaliwungu. Makam tersebut berada di kompleks pemakaman di daerah Kaliwungu yang setiap bulan Syawal selalu ramai dikunjungi masyarakat untuk berziarah, yang kemudian terkenal dengan tradisi Syawalan. Disebut kuntul nlayang karena bila dilihat dari atas bentuknya seperti (burung) kuntul atau bangau yang sedang terbang.
Oleh keluarga di wewengkon Kendal yang bertrah atau masih ada garis keturunan para tokoh-tokoh tersebut berusaha mensosialisasikan warisan kebudayan katimuran yang diajarkan oleh para leluhur terutama kebudayaan yang bernuansa Jawa, dalam hal ini diadakan Lomba Napak Tilas Kuntul Nglayang.
Sebagai kawula muda yang harus tahu warisan budaya leluhur terutama budaya Jawa, SMA 1 Cepiring melalui PA "Ardhiwana" ambil bagian sebagai peserta dalam lomba napak tilas tersebut. 1 regu putra yang beranggotakan kelas XI yaitu: Rizky Dian Buana (krokod), Sutarmuji (K-su), Mustaqim (Kimbir), Prasongko (Gesbi), Totok Hadi (Gembok), Zaenul Muis (Kumis), Syaiful Anwar (Prenges), Listiawan (Kunyur), Ahm. Masyriki (Kempus), Ari Hidayat (Ucrit), M. Arif Jamaludin (Kempes). Dan 1 regu putri: Indriyani Rahwati (Preman), Rahma (Wordot), Tintin Muzdalifah (Gembes), Winarsih (Ngablak), Yuli (Nyakdut), Apriliana (Umpluk), Umi Nuryati (Cumini), dari kelas XI, Villa Artasari (Berit), Afiatun (Cowek), Lisa Rahmawati (So'on), Sri Wahyumi (Glendem), dari kelas XII.

Kegiatan lomba napak tilas tersebut dilaksanakan oleh Keluarga Keraton Surakarta Hadiningrat Wewengkon Kendal pada Minggu, 24 Agustus 200, dimulai pukul 07.00 wib dibuka dengan upacara pemberangkatan.
Karena ingin memperkenalkan budaya Jawa, maka para peserta dihimbau untuk berperilaku secara orang Jawa dan cara berpakaian pun bernuansa Jawa.
Setelah upacara pembukaan dilanjutkan dengan napak tilas itu sendiri yang terbagi dalam 4 pos materi dan 1 pos terakhir sebagai pos utama.
Pos I, di makam Pangeran Pakuwojo (P. Gondokusumo), dalam bentuk kuntul nglayang berada di posisi ekor. Pos II di makam Wali Musyafak, Drs. Djumadi (Bupati Kendal ke-36), berada di posisi sayap kanan. Pos III di makam Sunan Katong, di posisi dada. Pos IV di makam Kyai Asy'ari, Kyai Puger (pendiri masjid Kaliwungu), Adipati Mandurorejo (BupatiPekalongan th 1922, merupakan putra Sulan Agung Hanyokrokusumo raja Mataram). Pos V adalah pos utama yaitu di makam Panembahan Djoeminah (putra P. Sutowijoyo raja Mataram pertama).


Jumat, 08 Agustus 2008

3 Profesor, 3 Penemuan

Pada suatu hari 3 orang vampir lagi unjuk taring atas kehebatannya masing-masing dalam hal menghisap darah dan membunuh mangsa.
“kebetulan nih malem dingin banget, gue jadi laper neh” celetuk vampir pertama.
“gimana kalo kita adu kekuatan, sapa yang paling cepet ngisep darah” tanya vampir kedua..
“okeh…!!!”
“gue duluan” kata vampir pertama…
lalu…whuuusssss…vampir pertama melesat..gak lama, selang lima menit dia kembali lagi dengan muka penuh darah dan sambil berkata..”lo liat gak kota dibawah sono??”
“iya liat” kata vampir dua & tiga
“semua penduduknya udah pada tewas, gue isep darahnya”
aahh, belom seberapa, neh liat gue..dan vampir kedua pun melesat tajam..selang tiga menit, diapun kembali dengan wajah belepotan darah, sambil berkata…
“lo liat kampung dibawah sana?? semua penduduknya dah pada tewas gue isep darahnya!!”
“aahh kecil, neh liat gue!!” vampir ketiga pun terbang melesat tajam… dan gak sampe satu menit dia udah kembali dengan darah diseluruh muka… dan dia berkata “lo liat tiang listrik dibawah sono??”
“iya..iya liat…”
“sialaaan..gue kagak liat!!@#$%^&”


(Habibie Afsyah)