Kaliwungu, disebut juga Lepen Wungu (sejarah Bagelen), Lepen Tangi (Babad Sultan Agung), Caliwongo (Francois Valentiju), daerah yang dipilih oleh Bahurekso sebagai pusat pemerintahan sebuah Kadipaten. Pada saat itu Kaliwungu adalah daerah yang telah dibangun oleh Sunan Katong yang kemudian dikembangkan oleh ulama Mataram Panembahan Djoeminah. Upaya pengembangan diteruskan oleh ulama yang punya garis keturunan dengan Sunan Giri, yaitu Kyai haji Asy'ari atau Kyai Guru, yang datang ke Kaliwungu pada beberapa tahun kemudian. Kaliwungu memang daerah berpotensi, selain itu dari faktor geografis memenuhi syarat sebagai daerah pertahanan.
Bandar (pelabuhan) Jepara mengalami perkembangan yang pesat bila dibanding dengan Bandar Bintara, Deamk. Selain itu, Bandar Asam Arang, yang strategis menjadikan Kadipaten Kendal di Kaliwungu semakin berkembang.
Faktor strategis lainnya adalah;
Pertama, merupakan jalan lurus menuju Mataram yang berdampingan dengan kadipaten Semarang. Kedua, memiliki pantai landai yang memungkinkan pengembangan pelabuhan armada. Ketiga, semenmanjung dengan Jepara sehingga mudah mengamati perkembangannya. Keempat, dekat dengan pesisir sebelah barat: Batang, Pekalongan, Tegal hingga Cirebon. Kelima, kondisi masyarakat pondok pesantren yang tenang sangat memungkinkan adanya koordinasi dengan para ulama, dan tidak tertutup kemungkinan Adipati merangkap jabatan lain.
Ancaman yang menjadi pertimbangan Sultan Mataram adalah VOC yang terus mengembangkan sayapnya memonopoli dagang. Banten dan Batavia telah berhasil dikuasai. Oleh karenanya pembangunan armada laut yang kuat sangat dibutuhkan, dan dalam hal ini Sultan Agung mempercayakan pada Adipati Kendal, Tumenggung Bahurekso. Pembangunan armada laut pun dimulai, dengan beberapa tempat yang dijadikan pusat pelatihan armada (prajurit).
Magangan, sebuah desa yang masuk masuk Kecamatan Pegandon (sekarang Kecamatan Ampel), dijadikan penampungan dan pendaftaran calon prajurit. Magangan berasal dari kata atau Magang atau pencalonan. Sedangkan tempat latihannya dipusatkan di desa Plantaran, sekarang masuk Kecamatan Kaliwungu. Plantaran berasal dari kata tataran atau yang berarti dadaran, pendadaranpusat latihan calon prajurit. Para pimpinan prajurit (armada) ditempaatkan di daerah dekat pelabuhan, namanya Sabetan yang artinya jago atau jawara. Pelabuhan armadanya di daerah Ngeboom yang artinya pelabuhan atau pangkalan laut. Keduanya sekarang menjadi desa Mororejo, Kecamatan Kaliwungu. Sedangkan transportasi yang menghubungkan pusat pemerintahan dengan markas besar armada angkatan laut melalui Kali Aji atau Kali Bendo.
Awalnya, Bahurekso hanya diberi kekuasaan darat seluas wilayah Kadipaten Kendal. Namun perkembangannya diangkat sebagai Panglima Angkatan Laut dan Gubernur Pesisir Jawa Utara. Memperhatikan tugas-tugas kedua dan ketiga itu, memberi gambaran bahwa Mataram menempatkan posisi Adipati/Bupati Kendal sangat strategis yang berskala nasional pada jamannya.
Setiap diplomat yang akan menghadap raja, terlebih dahulu berkewajiban untuk melapor dan meminta ijin pada Bahurekso. Pada bulan Juni 1615, ketika Andries Soury berkeinginan menghadap raja, maka ia harus terlebih dahulu menemui Adipati Kendal yang jug aGubernur Jawa Utara. Satu bukti lagi yang erat hubungannya dengan kepercayaan Sultan Agungyang diebrikan kepada Tumenggung Bahurekso, ketika utusan dagang kedua VOC, yaitu van Endhovenn(Juni 1618) ingin menghadap Sultan Mataram dengan tujuan ingin memperkuat dan memperluas lojinya. Jawaban Sultan diberikan kepada utusan VOC itu melalui Tumenggung Bahurekso.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan VOC, kebijaksanaan awal berada di tangan Bahurekso. Perilaku kasar yang ditunjukkan ole Van Endhoven dan Cornelis Maseuck terhadap para pedagang Jepara, pada akhirnya menjadi perhaatian Sultan. Mereka memaksa agar para pedagang Jepara menjual dagangannya pada VOC, dan bila tidak dituruti, para pedagang VOC melakukan penjarahan dan penganiayaan. Perilauk ini harus dipertanggungjawabkan. Karena tidak ada tanggapan dari pihak VOC, maka 18 Agustus 1618, Kantor Dagang VOC yang ada di Jepara diserbu habis. Ada yang meninggal dan ada yang ditawan oleh pasukan Bahurekso.
Inilah awal situasi dan kondisi yang memanas. JP. Coen, Gubernur Jenderal Dagang VOC di Jakarta merasa tersinggung. Dengan pura-pura berbuat baik pada pedagang Jepara dan pemerintah Mataram, JP. Coen menemui penguas dagang Mataram di Jepara yang berpangkat Hulubalang itu, JP. Coen ingin membeli beras dan keperluan lainnya dari masyarakat. Setelah itu seratus enam puluh prajurit VOC menyerang rumah-rumah rakyat, dan menewaskan tiga puluh orang. Jung-jung yang ada di pelabuhan Jepara semua dibakar habis.
Peringatan dari VOC itu mendorong Bahurekso memperkuat pertahanan Jepara. Prediksi akan adanya serangan ulang dari pihak VOC, ternyata benar. Sebanyak 400 prajurit Belanda (1619) menyerang Jepara. Namun dapat dipukul mundur oleh pasukan Bahurekso, dan mereka harus kembali ke laut. Persaingan dagang di pantai utara antara Mataram dengan Belanda sudah mulai memanas dan saling menjepit.
Kerajaan Sukadana, Kalimantan Selatan berhasil lebih dahulu dikuasai oleh Mataram.. Belanda berusaha melakukan ekspansi dagang lewat laut dengan daerah yang dituju Gresik dan Madura. Malang bagi Kompeni, karena tahun 1624 Kamar Dagang VOC yang ada di Gresik hancur oleh pasukan Mataram. Persaingan semakin panas, dan Sultan Agung sendiri merasa bahwa cepat atau lambat Kompeni akan menguasai Pulau Jawa.
diambil dari buku Babad Tanah Kendal karya Ahmad Hamam Rochani;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar