Selasa, 02 April 2013

Tumenggung Bahurekso dan Rantamsari

Tersebutlah dalam cerita tutur rajyat Pekalongan dan Batang.
Sultan AGung hatinya sangat lega setelah mendengar laporan Raden Bahu, bahwa pembuatan bendungan Kali Sambong telah dapat selesaikan dengan baik. Kemudian raja bertitah "Raden Bahu, tugasmu telah kau selesaikan dengan baik, maka pengabdianmu di Mataram dapat diterima. Namun, masih ada tugas berat yang harus kamu laksanakan yaitu menjemput anak gadis di Desa Kalisalak yang akan saya persunting". Raden Bahu menyanggupi dengan menyembah hormat dan mohon pamit serta mohon restu, dan selanjutnya Raden Bahu berangkat ke Desa Kalisalak.
Alkisah, Raden Bahu telah sampai telah sampai ke Desa Kalisalak, bertemu dengan Rantamsari, gadis desa yang dikehendaki Sultan Agung. Raden Bahu menyampaikan perintah raja, yang isinya Rantamsari harus harus mau dibawa ke Mataram untuk diperistri baginda raja Sultan Agung. Mendengar apa yang dikatakan Raden Bahu tersebut, Rantamsari merasa keberatan, ia tidak mau dibawa ke sana. Demi tugas yang diembannya sebagai prajurit yang harus taat kepada titah raja, maka Raden Bahu akanmenjemput Rantamsari dengan kekerasan. Rantamsari melihat Raden Bahu akan bertindak dengan kekerasan, menangislah ia dengan tersedu-sedu seraya berkata: "Duh Raden, walaupun bagaimana aku tidak mau dipersunting sang baginda raja, lebih bahagia aku menjadi istri Raden Bahu". MEndengar ratapan tangis Rantamsari, hati Raden Bahu menjadi luluh, benih-benih cinta mulai bersemi di hatinya.

Sorot mata gadis desa yang penuh kesucian itu mulai menghiasi hatinya sehingga dua manusia yang berlainan jenis itu saling jatuh cinta. Namun pikiran Raden Bahu masih dibayangi tugas dan kewajiban yang diembannya. Sehingga, Raden Bahu menjadi bingung dihadapkan pada dua masalah yang sangat berat antara tugas dan cinta. WAlaupun Rantamsari gadis desa, namun ia dapat membaca kesulitan yang dialami oelh Raden Bahu. Maka dengan lemah lembut, Rantamsari berkata: "Wahai Raden, janganlah gusar dan bingung, adinda mengetahui Raden pasti tidak sampai hati untuk menyerahkan dinda kepada sang baginda. Masih ada jalan keluar untuk menyelamatkan dinda, Raden". "Jalan apakah yang bisa menyelamatkan kita berdua, adinda? Aku juga tidak rela kehilanganmu" kata Raden Bahu. Kemudian Rantamsari bercerita bahwa di Desa Beluk ada seorang gadis yang sangat cantik bahkan melebihi dirinya. Gadis tersebut namanya Endang Wuranti, dia adalah anak penjual serabi, kiranya dapat dipersembahkan kepada Sri Baginda. Raden Bahu mengangguk, hatinya merasa lega karena tugasnya berhasil dan dapat mempersunting gadis idaman hatinya.

Berangkatlah Raden Bahu ke Desa Kali Beluk. Sesampai di sana Raden Bahu menyampaikan maksud dan tujuannya, bahwa kedatanganya sebagai utusan Raja Mataram untuk menjemput Endang Wuranti yang akan dipermaisurikan Sri Baginda. Hati Endang Wuranti merasa gembira yang tak terlukiskan. Kemudian setelah dirasa cukup, berangkatlah mereka menuju Mataram untuk menghadap Sri Baginda. Sesampai di kerajaan, Raden Bahu menghadap Sri Baginda, dengan hormat ia melapor telah memboyong puteri Kali Salak ke Keraton. Mendengar laporan Raden Bahu, segeralah Sri Baginda memanggil puteri tersebut. Alangkah kecewanya Sri Baginda. Puteri dari Kali Beluk tersebut tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sang raja, ia malah jatuh pingsan tak sadarkan diri. Sri Baginda menduga bahwa puteri tersebut bukan yang dikehendaki. Sri Baginda beranggapan bahwa Raden Bahu mengkhianati janjinya sebagai seorang kesatria. Timbullah dalam hati Sri Baginda ingin membalas dendam dengan cara halus. Karena klesalahan tidak terletak pada Endang Wuranti, maka anak bakul serabi itu diperintahkan untuk kembali ke Kali Beluk, dan diberikan padanya sejumlah uang untuk mengembangkan dagangannya. Hingga sekarang makanan serabi Kalibeluk sangat terkenal.

Pada suatu hari Sri Baginda memanggil Raden Bahu dan memberi titah kepadanya untuk membuka hutan Gambiran. Seperti diketahui bahwa hutan Gambiran merupakan salah satu hutan yang masih lebat, angker, binatang buas banyak berkeliaran, setan-setan gentayangan sebagai penghuni hutan. Namun, sudah menjadi takdir Tuhan bahwa meski hutan Gambiran itu gawat, toh akhirnya tugas membuka hutan tersebut menjadi perkampungan dan persawahan bisas berhasil dengan baik. Walaupun untuk mengerjakan tugas berat itu Raden Bahu harus melakukan "tapa ngalong". Dari cerita inilah di kemudian hari terkenal dengan nama daerah "Pekalongan" hasil kerja keras Raden Bahu atau Bahurekso.

Siapa sebenarnya Rantamsari itu sehingga Sultan Agung berkeinginan untuk menjadikan istri?
Tersebutlah dalam cerita bahwa ketika Nawangwulan (istri Jaka Tarub atau Kidang Telingkas) berhasil kembali lagi ke kahyangan (dunia bidadari) -karena baju dan selendangnya berhasil ditemukan, ia merasa sangat sedih karena kehadirannya ditolak oleh saudara-saudaranya. Alasan mereka, karena Nawangwulan sudah bukan anggota bidadari kahyangan -karena telah melakukan perkawinan dengan manusia. Hanya seorang bidadari yang tetap menaruh simpati padanya yaitu Nawangsari.

Diceritakan dalam buku Penembahan Senopati, akhir dari keputusasaan Nawangwulan, ia langsung menerjunkan diri ke laut selatan, dan berusaha menaklukan para lelembut segoro kidul (laut selatan) yang kemudian terkenal dengan julukan Ratu Laut Kidul.

Akan halnya dengan Nawangsari, ia kemudian juga turun ke bumi menjelma sebagai seorang wanita yang cantik dengan memberi nama dirinya sendiri: Rantamsari. Dan tempat tinggal yang dipilihnya adalah Kalisalak.

Seperti diceritakan di atas, bahwa di kemudian hari Rantamsari diperistri Raden Bahurekso, dan dari perkawinannya lahir seorang laki-laki bernama Sulamjono.

Seperti halnya Nawangwulan, Nawangsari atau Rantamsari juga dilanda kemelut rumah tangga. Hanya permasalahannya yang berbeda. Raden Bahu merasa resah karena hampir setiap saat Rantamsari selalu dikunjungi oleh Ratu Laut Kidul. Nasihat dari suaminya, Raden Bahu, kurang mendapat tempat di hati dan nyaris tidak pernah diperhatikan. Mungkin karena rasa kesal tidak bisa ditahan, maka perpisahan yang terjadi dan mungkin itu merupakan pilihan yang terbaik walaupun Rantamsari sendiri masih memiliki cinta yang dalam pada Raden Bahu.

Dari sinilah muncul sebutan-sebutan yang menjurus pada status seseorang. Rantamsari menjadi janda kembang dengan sebutan: Lanjar. Dari mulut ke mulut tersiar bahwa Rantamsari adalah Dewi Lanjar.

Meskipun sudah punya anak, Rantamsari tetap kelihatan cantik, sehingga menjadi rebutan pembesar kadipaten. Lamaran demi lamaran ditolak oleh Rantamsari karena hatinya tetap menyatu dengan Bahurekso dan Sulamjono. Karena itu ia berusaha meloloskan diri dari Pekalongan. Kematian puteranya, Sulamjono, benar-benar memukul hatinya. Rasa putus asa selalu ada di hadapannya.

Ketika berada di sebuah tempat Rantamsari bertemu dengan seorang pertapa, dan ia disarankan untuk segera menuju Kali Opak, dan seterusnya disarankan segera menerjunkan diri ke dalam sungai.

Alkisah, Rantamsari dijemput oleh Ratu Laut Kidul yang tidak lain adalah saudara sebidadarian, Nawangwulan. Selanjutnya, Rantamsari atau Nawangsari atau Dewi Lanjar dibeir pelajaran oleh Ratu LAut Kidul tentang bagaimana memimpin dunia lelembut. Oleh Ratu Laut Kidul, Nawangsari atau Rantamsari diberi kekuasaan untuk menguasai laut utara atau Laut Jawa, dengan sebsutan Dewi Lanjar. Dan oleh Ratu Laut Kidul disarankan agar Dewi Lanjar tetap membantu para bupati di daerah pesisir, khususnya bupati Pekalongan.

Sementara dari istri yang satunya, Tumenggung Bahurekso memiliki seorang anak lagi yang diberi nama Banteng Bahu. Dalam perang Batavia (1628), kedua putera Bahurekso ambil bagian dan gugur sebagai kusuma bangsa. Dan ketika petinggi Mataram melakukan persidangan dalam rangka perisapan perang besar itu, Banteng Bahu mendapat tugas menajga daerah di bagian barat dari Paseban Kemangi, tepatnya di pantai dan hilir sungai Kutho. Tugas pokoknya mengawasi dari jauh apabila ada kapal-kapal lawan yang memasuki wilayah paseban. Sehingga dibuatlah sebuah panggung yang agak tinggi, sehingga bisa untuk "menerawang" atau melihat dari jauh. Begitulah tempat itu disebut dengan nama Tawang atau Nerawang.

Dongeng mengenai Tumenggung Bahurekso dan Dewi Lanjar atau Rantamsari hingga kini memang masih dianggap keramat oleh sementara penduduk di Pekalongan, dan cukup hati-hati duntuk dipentaskan dalam cerita panggung atau ketoprak/ludruk ataupun sandiwara.

Pernah suatu ketika ada lakon sendratari Tumenggung Bahurekso dengan mengambil lokasi di Pendopo Kabupaten Pekalongan. Penggelar pertunjukan itu juga termasuk orang penting, Bupati Haryono (alm). Penata tarinya juga tokoh budayawan nasional, Bagong Kusudiharjo. Mungkin karena lakon ceritanya kurang lengkap seingga ada ketidakcocokan dengan cerita yang sebenanya, tiba-tiba langit yang cerah sejak sore dan udara yang sejuk mendadak redup dan gelap hingga kemudian turun hujan lebat disertai petir menggelegar-gelegar. Tak lama kemudian, banir pun menggenangi alun-alun Pekalongan yang tingginya hampir setengah meter. Anehnya, banjir itu hanya di sekitar alun-alun dan pendopo kabupaten saja.

Hal yang sama juga pernah dialami oleh grup kesenian ketoprak "Siswa Budoyo". Mungkin karena pementasan lakonnya kurang sesuai dengan lakon cerita yang sebenarnya, maka tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, juga disertai petir. Bahkan hampir sepertiga pemain panggungnya jatuh sakit.

Setelah dilakukan upacara ritual di makam Bahurekso yang ada di Legok Kalong, ternyata semua yang pernah terjadi itu tidak lagi mengganggu pementasan berikutnya.

Rasanya memang antara percaya dan tidak. Di samping itu, memang tidak ada dalil pasti yang bisa menyebabkan peristiwa itu terjadi, tetapi kenyataan yang menjawabnya.
Ini berarti bahwa segala sesuatu yang masih berhubungan dengan "hamba Allah" tentunya diperlukan adab dan sopan santun termasuk terhadap para leluhur yang telah meninggal dunia. Kalau saja Tumenggung Bahurekso masih hidup, dia mungkin akan berkata: "Mengapa masuk daerah orang lain tidak mau kulawanuwun (permisi-Jawa) kepada orang yang bersusah payah membangun, dan mengapa melakonkan diri saya tidak sesuai dengan cerita sebenarnya..."

Begitulah cerita rakyat yang terkadang sulit untuk dicari pembuktiannya.

Sumber: diambil dari buku Babad Tanah Kendal, karya Ahmad Hamam Rochani (2003)